Tak terasa gelap pun jatuh
Di ujung malam menuju pagi yang dingin
Hanya ada sedikit bintang malam ini
Mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya
Itulah penggalan lirik lagu berjudul milik band indie asal Jakarta, Payung Teduh. Kayaknya nama Payung Teduh sudah enggak asing lagi di telinga. Bisa gue bilang Payung Teduh jadi salah satu band indie Indonesia tersukses sekarang. Beberapa videonya di Youtube aja udah tembus jutaan views! Wow.
Band yang digawangi oleh Alejandro Saksakame, Comi Aziz Kariko, Ivan Penwyn, dan Mohammad Istiqamah Djamad sukses membawakan lagu dengan lirik-lirik puitis tingkat dewa plus irama genre pop easy listening, jazz, dan sedikit dibalut alunan keroncong. Memang satu kesatuan yang ngena banget kalau diputar di keheningan malam yang kelam. Puitis dan bikin baper.
Tak terkecuali para pejalan masa kini yang sudah terasuki sukmanya oleh musik mas-mas Payung Teduh. Ya, itu sih yang selama ini gue rasain. Lagu-lagu dari band asal Universitas Inonesia ini ibarat hymne kebangsaan yang wajib hukumnya diputar oleh traveler di gunung, sawah, atau lautan. Ibarat Bung Karno yang melarang pemutaran musik 'Ngak..Ngik..Ngok' di era 60-an dan mewajibkan muda-mudi mendengarkan alunan irama Lenso.
Fenomena Payung Teduh memang mirip dengan fenomena kaos-kaos berlogo 'National Geographic', 'My Trip My Adventure', atau teriakan 'Jalan-jalan meeeen' di setiap aktifitas traveler. Mewabah bak virus dan menjadi fenomena yang tak mampu dibendung.
Pernah pada suatu masa ketika gue camping di Gunung Papandayan, hymne Payung Teduh ini dari tenda ke tenda menggema, seakan ada mini konser di tiap tenda. Dari yang kualitas bitrate iTunes sampai kualitas unduhanStafaband. Beberapa waktu berikutnya giliran 'mini konser' Payung Teduh gue alami waktu camping di Kepulauan Seribu.
Sepanjang malam, handphone yang dicolok ke 'salon' (kalau kata orang dulu) memutar tembang-tembang andalan dari Payung Teduh. Playlist sepanjang malam sampai pagi memutar 'Cerita tentang Gunung dan Laut, Resah, Angin Pujaan Hujan, Berdua Saja, Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan, dan ganti ke lagu-lagu Iwan Fals'. Di dalam batin saya berharap "Ah, pasti nyelip nih lagu Neat..neat..neat dari The Damned, atau Pantai Pataja dari Dara Puspita juga enggak apa-apa lah" tapi sayangnya setelah lagu-lagu lawas dari Iwan Fals selesai, playlist kembali ke awal, Payung Teduh.
Pernah juga dengar curhatan teman yang mau berangkat pendakian ke Gunung Sumbing bilang "Pasti asik nih malem-malem di basecamp liatin bintang sambil setel lagu Payung Teduh" (curhatnya pun diiringi lagu Payung Teduh). Beberapa kali juga lihat update jejaring sosial Path, seorang kawan yang memang senior dalam hal daki-mendaki memutar hits 'Berdua Saja' lengkap dengan caption "Sambil ditemani kopi hitam". Oke sip mas!. Lain lagi di Youtube, mba-mba traveler komentar di salah satu video Payung Teduh "Kemarin aku dengerin lagu ini pagi-pagi di puncak Gunung ......... MANTAPP !!"
Ya begitulah Payung Teduh yang selalu nikmat didengar ketika malam datang oleh kumpulan mas-mas atau mba-mba traveler. Saat dingin menusuk tulang, atau di kala suara ombak bersahut-sahutan di tepian pantai. Didengar bersama-sama, di kala lapar ataupun di waktu hangatnya membicarakan nasib bangsa hingga nasib gebetan.
Begitu lirik yang seharusnya "Mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya" seketika berubah menjadi "Mungkin karena kau sedang ganteng-gantengnya" suasana hati kumpulan mas-mas traveler itu menjadi kacau. "Najis mutawasitoh, bubar, bubar," ujar seorang mas-mas penikmat Payung Teduh.
Tulisan di atas no offense. Cuma opini penulis berdasarkan pengalamannya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar