Pages

Menyusuri jalan panjang Gunung Argopuro (2)

Menyusuri jalan panjang Gunung Argopuro (2)

Menggapai puncak Rengganis, Gunung Argopuro, merupakan hal yang sangat menakjubkan bagi gue. Ada rasa kepuasan yang amat sangat karena butuh waktu hingga 4 hari 3 malam untuk mencapainya. Sebuah pendakian terlama yang gue lakukan selama ini.

Setelah penuh sesak dengan kebahagiaan saat menggapai puncak Rengganis, tiba-tiba teman mengatakan "Kira-kira 6 jam lah sampai danau Taman Hidup," tuturnya. Saat itu pula lah gue sadar kalau perjalanan masih panjang. "Ini baru setengah perjalanan ternyata, sial," gue cuma bisa mengeluh dalam hati.

Perjalanan turun kami memilih jalur Bremi. Bremi merupakan sebuah desa yang masuk dalam kecamatan Krucil, Probolinggo. Jika memilih jalur ini, kita akan melewati danau Taman Hidup yang terkenal itu. Biasanya memang pendaki memilih Bremi sebagai jalur turun bila naik melewati Baderan.

Perjalanan turun dimulai dari pertigaan yang mempertemukan jalur menuju puncak Arca dan puncak Argopuro. Jalanan didominasi dengan bebatuan awal-awalnya. Lalu semakin ke bawah, jalur semakin curam dengan semak belukar yang kian menutupi. Tak begitu jauh, dari pertigaan ada sumber air jernih terakhir sebelum danau Taman Hidup bernama Patuga.

Mata air Patuga
Kebetulan, siang itu hujan turun. Walaupun tak begitu deras, tapi tetap menjadi ujian besar bagi kami. Bagaimana tidak, trek yang sudah curam menjadi lebih licin. Beberapa kali gue sama teman lainnya terpeleset jatuh. Bahkan kami berjumpa dengan rombongan lainnya yang salah satu anggota wanitanya kakinya terkilir. Kami tak mampu membantu banyak mengingat menjaga diri masing-masing saja cukup merepotkan. Kami cuma bisa mendoakan dan membantu menyemangati wanita itu.

"Kami ada 6 orang, tapi 2 orang sudah jalan duluan. Mungkin sudah sampai di Taman Hidup," ujar salah satu teman wanita itu.

Tiga jam perjalanan, akhirnya kami sampai di pos Cemara Lima. Bila cerah, kita bisa melihat danau Taman Hidup dari pos Cemara Lima. Namun, waktu itu kami tak beruntung karena cuaca diselimuti kabut tebal serta sesekali hujan masih turun.

Dari pos Cemara Lima, kami masih harus naik turun bukit dan melipir di punggungan tebing. Hari semakin sore dan rasa cemas datang di dalam hati saya. "Apa nggak bahaya ini kalau diteruskan semakin malam? Jalur sempit dan tertutup semak, di sebelah kanan jurang," keluh gue dalam hati. Memang, jalur Bremi ini lebih pendek dibanding jalur Baderan. Tapi, kontur medannya jauh lebih curam.

Momen sehabis terjatuh
Setelah perjalanan berat kami lalui, pukul 8 malam kami tiba di danau Taman Hidup. Untuk ukuran Argopuro, suasananya cukup ramai. Ada belasan tenda yang memenuhi camping ground danau Taman Hidup. Ini di luar ekspektasi gue yang sebelumnya menyangka bahwa area camp di Taman Hidup itu luas.

Dari puluhan orang yang sesak di Taman Hidup ada beberapa yang membantu kami mencari tempat dan tak sedikit yang membuat gerah kepala. "Searching aja sendiri," celetuk pecinta alam kawakan entah siapa. "Siapa suruh dateng malem-malem," timpal lagi entah pengecut mana yang berada di balik himpitan tenda-tenda. Beruntung kami masih bisa menahan emosi di saat fisik sudah amat payah ini.

Karena tak kunjung mendapat tempat walaupun sudah bolak-balik mencari, akhirnya kami memutuskan balik lagi ke dalam hutan. Kami ingat ada ruang kosong yang di sebelah aliran sungai. Cukup riskan memang membuka tenda di dekat aliran air. Tapi tidak apa karena memang ini ruang yang tersisa walaupun cukup jauh dari danau Taman Hidup.

Di tengah hutan yang sangat sunyi kami membangun tiga tenda. Cukup membuat merinding memang suasananya. Kami berada dibalik rimbunan pohon-pohon besar, jauh dari hiruk-pikuk rombongan pendaki lain. Sesekali kami was-was mengamati sekeliling kami yang memang gelap gulita. Semakin malam, udara semakin dingin di sini.

Setelah melewati malam yang amat sunyi itu, kami terbangun agak siang. Maklum, ini malam terakhir kami di Argopuro. Cukuplah sudah kuota 5 hari 4 malam pendakian kami. Kami segera bergegas untuk melanjutkan perjalanan menuju Bremi dengan target 3 hingga 4 jam sampai.

Sebelumnya, kami melaksanakan ritual wajib. Ya, foto-foto di danau Taman Hidup. Inilah danau dengan aura mistis tinggi. Konon, jika kita berisik, kabut akan cepat turun tertanda Dewi Rengganis terganggu dengan suara bising kita. Tapi, waktu itu tak usah berisikpun kabut tebal sudah menyelimuti Taman Hidup.

Tempat camp terakhir kami

Kami tak punya waktu lama di Taman Hidup. Dengan segera kami meneruskan perjalanan. Kami semua sudah tak sabar untuk sampai di Bremi. Melepas sepatu, mandi, ganti baju, melihat notifikasi handphine, makan dengan normal, dan sebagainya sudah bercampur-aduk di otak kami.

Jalur dari Taman Hidup menuju Bremi tidak seterjal saat perjalanan dari puncak menuju Taman Hidup. Jalurnya mirip seperti gunung Cikuray ataupun Pangrango. Banyak akar dan sesekali melewati obstacle berupa batang pohon yang roboh menutupi jalan.

Saya sadar dari kami semua sayalah yang memiliki gerak jalan paling lama. Maklum lah fisik-fisik anak manja ibukota yang jarang olahraga. Di tengah perjalanan, saya memutuskan untuk berada di paling belakang. Sebuah kepuusan yang sekarang gue anggap kekeliruan besar. Waktu itu dengan enaknya gue bilang ke tim "Kalau mau duluan, duluan aja nanti gue nyusul di belakang ya." Memang sebelumnya bila ada yang di paling belakang selalu berkordinasi lewat suara dan jaraknya pun tak jauh.

Sadar berada di paling belakang dan jarak menjadi semakin renggang dengan yang lain, gue mempercepat gerak langkah. Bertemulah gue dengan persimpangan yang menyesatkan. Saya mengambil arah kiri dan menganggap ini jalan tembusan. Di jalur Bremi ini memang banyak jalur-jalur memecah yang sebagian bertemu kembali dengan jalur asli. Tapi, waktu itu gue sial karena salah memilih jalur.

Jalur yang gue pilih semakin sempit dan menjauh dari jalur asli atau semakin ke kiri. Suara teman-teman yang sebelumnya masih sayu-sayu terdengar kini tak ada lagi. Di atas pepohonan seakan ada yang terus melompat dari pohon satu ke pohon lainnya. Gue anggap itu hanyalah sejenis kera hutan walau tak terlihat jelas bentuknya. 

Melihat jalur yang semakin rimba dan bercabang, dengan hitungan cepat gue segera balik arah kembali naik untuk menemukan jalur asli. Gue berteriak-teriak memanggil nama teman sekaligus memberi isyarat kepada teman-teman lain. Sesekali gue mendengar teriakan teman gue. Itupun samar-samar karena jarak yang cukup jauh. "Wah enggak lucu udah sore gini harus nyasar di gunung sekelas Argopuro," tutur gue dalam hati. Sambil membuang jauh rasa panik, gue terus naik ke atas sambil mengingat jalur yang gue lewati tadi untuk kembali ke jalur asli.

Beberapa kali gue merasa lega ketika suara teman yang berteriak memanggil terasa semakin dekat. Akhirnya gue bertemu dengan dua teman dengan ekspresi paniknya mereka mencari. Gue sadar pasti mereka sudah terlanjur kesal karena rasa panik. Alhamdulillah, gue berhasil melewati waktu 20 menit jahanam itu. Waktu yang amat mendebarkan. Benar-benar di momen yang tak terduga pastinya. Beruntunglah gue nggak menjadi objek pencarian di Gunung Argopuro.

Ini menjadi sebuah pelajaran berharga bagi gue kedepannya tidak ada lagi ceritanya yang namanya pisah rombongan selama naik ataupun turun gunung. Jika salah jalur di gunung akibatnya fatal. Bagi gue nyasar di gunung itu lebih kejam daripada nyasar di kota.

Kamipun melanjutkan perjalanan. Hari mulai menggelap dan kami belum juga tiba di Bremi. Dari kejauhan terdengar hingar-bingar dangdut khas sebuah pesta. Akhirnya, saya kembali mendengar musik live, bukan musik-musik bajakan di handphone lagi.

Maghrib tiba, dan kami akhirnya sampai di area perkebunan milik warga. Gue sedikit sumringah karena desa Bremi sudah tampak dekat. Lelah yang sebelumnya membuat rasa pesimis seakan hilang. Satu jam perjalanan melewati kebun akhirnya kami tiba di desa Bremi. Desa yang dinanti.

Kami semua senang ketika melihat jalanan beraspal lagi. Kami cukup gembira melihat lari anak bocah, motor yang berjalan kencang, mobil bak yang melintas di depan mata. Di samping guetampak seorang dari rombongan lain mengumpat "Hah, anj*ng, ban**at, gila lah." Gue cuma bisa tersenyum melihatnya. Maklum, muka gue nggak jago berekspresi. Kegembiraan ini cukup gue pendam di dalam hati.

Tak butuh waktu lama gue langsung membuka sepatu besar ini. Kaki gue agak membengkak dan lecet di sana-sini. Inilah yang gue tahan selama perjalanan. Gue nggak akan mungkin berhenti cuma karena menahan sakit kecil di kaki. Bremi sudah menjadi desa yang indah dengan penduduk yang ramah menanti. 

Desa Bremi
Banyak ekspresi-ekspresi kepuasan yang gue lihat di wajah pendaki-pendaki lain yang baru turun. Kami membaur dengan tim lainnya dan bereuforia menceritakan momen-momen selama perjalanan. Di saat itulah kami semua mulai berani mengeluh, berteriak, bercerita mistik, dan cerita lainnya yang banyak kami pendam selama perjalanan. Inilah Argopuro, istana sang Dewi Rengganis dengan sejuta cerita dan kesannya bagi yang pernah menjamahnya. Suatu saat, mungkin gue bakal balik lagi.

Baca juga dong:

Belum sempat naik Rinjani? Coba dulu sensasi Bukit Pergasingan

Kamu traveler? Sudah berapa kali dengar Payung Teduh?

Lihat foto-foto perjalanan saya lainnya di sini

Tuan Kembara

Lebih baik jadi burung kecil yang terbang bebas daripada jadi raja yang tertawan. Tertarik di bidang dokumentasi, musik, historia dan humaniora.

1 komentar: