Pages

Kami tersesat di Solo dan Jogja


Kami tersesat di Solo dan Jogja

Sebenarnya gue udah agak-agak lupa beberapa bagian dari perjalanan ini. Berhubung jadi salah satu kisah konyol perjalanan hidup gue, jadi gue wajib untuk mencatatkannya di blog ini. Sebuah catatan perjalanan absurd di awal tahun. Pokoknya tulisan ini based on true story, malah cenderung ke the untold story, Ha..ha..ha!

2011 jadi tahun di mana gue lagi di puncak-puncaknya gairah jadi anak metal. Begajulan, urakan, pakai kaos hitam lengkap dengan simbol-simbol kematian, anti lagu mendayu-dayu, tapi masih takut kecoa terbang. Kebetulan di tahun itu ada festival musik metal yang digelar di kota Solo. Skala eventnya terbilang besar karena event itu diisi band-band yang nggak main-main di scene musik metal dalam & luar negeri.



Berbulan-bulan menabung, akhirnya terkumpul deh itu uang untuk jalan sama beli tiket presalenya yang cuma Rp50 ribu! Gue beli tiket itu di salah satu toko musik lawas di Blok M. Gue beli dua tiket. Satu buat gue, satu buat mantan gue yang jauh di sana. Nah, berhubung gue putus sama mantan gue itu beberapa hari sebelum konser, mau nggak mau gue harus cari mangsa buat gantiin itu tiket.



Waktu itu mangsa yang gue harapin sih cewek lah pasti. Tapi, entah kenapa itu tiket malah lari ke teman dekat gue pas kuliah. Namanya Rizen, anak Ciganjur. Kebetulan waktu itu gue masih kuliah semester 5. Iya, dia lakik, bukan cewek karena gue gagal modus ke anak orang buat bisa gue boyong ke Solo.



Karena situasinya udah mepet, gue maksa si Rizen biar ikut. Entah kenapa dia langsung mau sampai rela jual hapenya yang Sony Ericsson itu buat beli tiket kereta ke Semarang (tiket ke Solo atau Jogja yang kelas ekonomi kere udah habis). Goksss! Sebelum berangkat dia emang sempet bilang duitnya kurang buat jalan. Tapi karena emang bawaan metal gue dengan santai bilang "Yaudah tenang aja, gampang mah di sana," padahal jelas waktu itu budget gue aja kurang.



Meeting point waktu itu di stasiun Jatinegara karena kereta berangkat dari sana. Total ada 6 orang yang jalan dari Jakarta. Gue, Rizen, Iki, Liday, Ayu, sama Yusyus (nama samaran). Yang mengenaskannya itu semua udah nggak kebagian tiket duduk alias berdiri. Kereta ekonomi waktu itu emang masih menerapkan aturan tiket berdiri, beda jauh lah sama sekarang.



Jakarta - Semarang dengan waktu tempuh 11 jam perjalanan malam kami habiskan dengan berdiri atau duduk lesehan di sambungan gerbong. Kondisi keretanya waktu itu crowded banget. Buat duduk lesehan di bawah itu susah. Akhirnya gue memilih WC jadi tempat duduk gue. Kebetulan karena saking penuhnya jadi penumpang nggak ada yang bisa jalan ke toilet.



Pagi hari waktu itu kami sampai di Semarang. Badan rasanya mau pecah belah. Perjalanan kami lanjutkan dengan bus ke kota Solo. Dua jam perjalanan di bus yang nyaman banget itu gue habiskan dengan tidur! Jelas semaleman duduk di WC kereta dan kadang-kadang gantian sama Rizen mana bisa tidur.



Jam 12 siang kami sampai di terminal Tirtonadi Solo. Kami langsung mencari angkutan carteran yang bisa mengantar ke penginapan. Waktu itu gue nggak mikirin mau tidur di mana. Kebetulan untuk urusan penginapan waktu itu si Ayu yang ngeberesin.



Akhirnya sampai juga di penginapan yang biasa aja, malah terkesan bangunan tua. Pas gue tanya ke Ayu berapa harga per malamnya, dia bilang Rp30 ribu. Awalnya gue pikir Rp30 ribu itu nominal patungan per orangnya. Eh nggak taunya itu tarif per kamar untuk satu malam yang Non AC. Wadefak..murah banget. Karena gue cowok bertiga jadi cuma patungan 10 ribu/orangnya untuk satu kamar.



Karena gue tipe orang yang gampang penasaran, gue coba untuk keliling-keliling sekitar penginapan sambil cari cemilan. Posisi penginapannya itu ada di seberang stasiun Balapan. Tepatnya ada di gang yang nama gangnya gue lupa apa.



Semakin gue masuk ke dalam gang itu kok semakin banyak penginapan sejenis. lingkungannya nggak terlalu ramai. Sesekali ada perempuan di depan gerbang penginapan yang negur gue: "Siang masnya mau kemana nih?". Karena dilihat populasi perempuan yang negur gue makin banyak, Astaghfirullah..tanpa berpikir lama lagi gue nyatakan ini kawasan prostitusi, HA..HA..HA. 



Nggak tau deh temen gue dapet info penginapan ini dari mana. Googling kah atau testimoni mulut ke mulut. Karena emang gue terlena dengan harga murah dan lokasinya yang cukup strategis dan teman-teman yang lain juga udah booking kamar jadi mau gimana lagi.


"Zen, lo nggak merasa aneh gitu sama ini penginapan?" tanya gue ke Rizen.

"Kenapa? sepi?" sahut Rizen.

"Bukan, pokoknya banyak yang gitu-gitu deh, Nanti lo juga tau," gue jawab.

"Hehehehe.." Rizen cuma nyengir antara dia udah tahu atau emang nggak nyambung.


Kami nggak punya waktu lama untuk leyeh-leyeh dulu di penginapan. Padahal badan masih berapa capek. Jam 4 kami harus bergegas menuju venue yang ada di Alun-alun utara. Itu lah tempat tujuan kami ke Solo.


Sesampainya di venue, kami disambut teman-teman komunitas dari daerah. Ada yang dari Cirebon, Semarang, Jogja, Malang, dll. Gue lupa siapa aja nama-namanya. Tapi kalau wajah gue masih ingat.



Gue nggak akan bercerita banyak tentang jalannya konser. Intinya Rock In Solo 2011 itu diisi band-band kaya Burgerkill, Down For Life, Kataklysm, Death Angel, dan semacamnya. Seru lah bisa nonton festival musik besar yang lokasinya jauh dari Jakarta. Ya kali aja 5 tahun lagi gue bisa dateng ke event serupa tapi di luar negeri kaya Wacken Open Air atau Glastonbury, Ha..ha..ha.


Rock in Solo 2011
Rock in Solo 2011



Oh iya, waktu itu pas banget presiden Jokowi masih jadi walikota Solo. Karena emang doi penggemar musik cadas, Jokowi dateng dengan kaos Napalm Death dan jaket merahnya (gue masih inget!).



Oke, jam 12 malam acara hingar bingar itu selesai. Puas, capek, ngantuk, bahagia, semua campur aduk. Tanpa basa-basi panjang akhirnya kami pulang ke penginapan. 



Setibanya di penginapan, kalian semua tahu lah namanya lokalisasi malam hari itu lagi aktif-aktifnya. Apalagi sesekali terlihat aktifitas enak-anak yang mencurigakan. Tapi, bodo amat, gue nggak berusaha buat kepo. Teman-teman yang lain juga nggak peduli. Pikiran kami waktu itu yang penting bisa buru-buru rebahan dan tidur panjang.



Bener aja, jam 11 siang baru semua baru bangun dari tidur panjangnya. Sementara, jam 12 kami harus checkout dari penginapan. Gue kira penginapan kaya gitu masih santai soal waktu checkout, ternyata harus on time.



Setelah berunding panjang lebar, kami menentukan perjalanan berikutnya ke Jogja. Karena nanggung banget cuma satu malam di luar kota. Kebetulan, posisi penginapan dengan terminal itu nggak begitu jauh. Jadi lah kami naik bus menuju Jogja. Rombongan kami pun tambah satu orang. Namanya Tori, asal Cirebon. Orangnya kurus tapi gondrong.



Di tengah perjalanan ke Jogja, gue kaget. Ternyata si Yusyus bawa oleh-oleh banyu setan dari Solo. Kata Yusyus sih dia beli harganya Rp12 ribu. Tempatnya khas banget pakai botol aqua 1,5 liter. Nah, air ciu itu bening. Jadi orang lain pasti nyangkanya dari jauh itu air mineral biasa. Tapi kalau udah deket, aromanya kecium parah.



Kebetulan di rombongan kami yang suka minum banyu setan ya si Yusyus aja. Kalau gue boro-boro minum gituan, minum antimo aja ketiduran. Nggak cuma dibawa sama si Yusyus, tapi di bus juga diminum sama dia layaknya minum air putih. Gue kira ciu itu bakal dibawa ke Jakarta buat dijadiin oleh-oleh, Ha..ha..ha!



Karena efeknya emang bikin mabuk parah, sesampainya di Jogja jadi lah petaka kecil buat kami. Mirip adegan drunken master, setiap orang di terminal diajak berantem sama Yusyus. Dalem hati gue: "Wah anjir mulai kesrek nih kalau mabok". Karena emang harus kami jaga biar dia masih terkontrol, botol ciu itu sepakat kami buang. Padahal masih sisa setengah. Kami membuangnya pun tanpa sepengetahuan si Yusyus.



Nasi emang udah jadi bubur. Efek nenggak 750 ml ciu Solo bikin si Yusyus jadi mabok parah. Kami harus menahan dia supaya nggak kemana-mana di terminal sambil menunggu angkutan ke Malioboro. Sesekali dia natap orang yang lewat kaya orang yang udah siap berantem.



"Zen, zen lihat deh tuh si Yusyus, meleng dikit bisa digamparin orang satu terminal dia," canda gue ke Rizen.


Setelah satu jam menunggu di terminal Giwangan, akhirnya kami memutuskan untuk naik Transjogja. Agak riskan sih memang karena si Yusyus masih belum sadar. Jalannya masih sempoyongan dan sesekali bilang "Ciu gue mana ya? ciu gue mana?"



Di dalam Transjogja, kami sibuk mengawasi gerak-geriknya si Yusyus. Maklum, masih di bawah kendali banyu setan. Posisi duduknya lesehan di dekat pintu, paling beda sama yang lain. Dengan kondisi kaya begitu pasti jadi pusat perhatian orang. Gue sama Rizen sih sok asik aja ketawa-tawa lihatnya, Ha..ha..ha.



Sesudah sampai di Malioboro, malam hari tepatnya, kami memilih untuk makan di angkringan Lik Man dekat stasiun Tugu yang terkenal sama kopi jossnya. Pasti kalian semua tahu kalau yang sering ke Jogja.



Saatnya makaaan! Gue sadar makan di angkringan itu murah dan bisa bikin kalap dompet. Gue coba mengkontrol tapi susah nyatanya kalau udah liat yang namanya sate usus, ati ampela, sama gorengan risol. Makanan-makanan yang jatuh gelinding dari surga itu.



Di saat kami pada asik makan, si Yusyus lebih memilih tidur di emperan jalan. Gue rasa sih waktu itu dia udah berat banget. Lagi-lagi dia jadi pusat perhatian orang.



"Yus, makan dulu lah," ajak Liday.

"Hmm, iya nanti," jawab singkat si Yusyus.



Lumayan lama gue nongkrong di angkringan Lik Man. kira-kira sampai jam 11 malam akhirnya kami mutusin untuk menghabiskan malam di nol kilometer Jogja. Depan benteng Vredeburg persis. Malam hari di nol kilometer Jogja memang nggak pernah sepi. Banyak orang yang nongkrong atau foto-foto ala kadarnya.



Di saat malam yang mulai sunyi dan tenang, dan Yusyus yang udah mulai normal, tiba-tiba ada satu pengacau datang. Entah dari mana asalnya, ada cowok nggak jelas kebut-kebutan naik motor sport. Pertama dia masuk pasar klitikan yang posisinya persis di samping benteng Vredeburg. Padahal itu pasar udah tutup. Gue yakin banget sinetron Anak Jalanan terinspirasi sama dia deh.



Enggak cuma kebut-kebutan nggak jelas. Beberapa kali dia teriak-teriak nantangin orang duel. Badannya gede, botak, dan suaranya khas medok Jogja.

"Heh, ngapain kamu lihat-lihat. Gelut wae saiki!" teriak orang itu ke salah satu orang yang lagi duduk.

Puncaknya saat dia nyamperin tukang becak dan tanpa sebab langsung nantangin tukang becak itu untuk duel. Nggak puas di situ, dia mendorong becaknya itu sampai terjungkal. Tukang becak itu cuma bisa minta ampun. Orang-orang di sekitarnya juga cuma bisa nenangin supaya nggak makin kacau.

"Ih itu orang kenapa sih nggak jelas banget," kata Liday.

"Anj*ng tuh ban*sat tuh orang," tampak Rizen mulai emosi.

Semntara Yusyus cuma bisa lihatin aja sembari nunggu itu orang nyamperin dia dan ajak dia berantem. Lumayan lah buat Yusyus buat keluarin efek tenaga dari 750 ml ciu Solo.

Akhirnya kekacauan nggak jelas itu berakhir. Orang itu mulai pergi memacu motornya. Gue juga nggak peduli mau dia tabrakan di jalan atau dipukulin orang satu kampung. Mulai ngantuk akhirnya kami tidur. TIDUR DI EMPERAN JALAN DI JOGJA.

Awalnya gue sama Rizen nggak bisa tidur. Sementara yang lain udah mulai nyenyak. Gue berdua cuma bisa ngobrol ngalor ngidul. Jam 4 mata gue udah mulai ngantuk. Akhirnya gue memutuskan untuk tidur di bangku jalan persis di depan Istana Kepresidenan Jogja atau yang ada di seberang benteng Vredeburg. Gue harap itu bangku besi masih ada sekarang karena bersejarah buat gue.

Satu jam tidur ayam alias tidur tapi nggak nyenyak-nyenyak amat, gue terbangun karena ada gerakan mencurigakan di kantong celana sebelah kanan gue. Kebetulan gue naruh HP di situ. Langsung lah gue melek dan melihat bapak-bapak lagi mencoba meraba kantong celana gue.

"Ada apa ya, Pak?" tanya gue.

"Bangun-bangun udah pagi," jawab bapak itu.

Lho, dalam hati gue kenapa itu bapak-bapak inisiatif banget buat bangunin gue. Gue tanya ke Rizen sehabis itu apa dia juga dibangunin sama bapak tadi. Ternyata kata Rizen nggak. Gue curiga di mau mengambil HP gue.

Jam 6 kami semua sudah bangun dan rapih-rapih. Jalanan Jogja udah mulai ramai. Pagi itu juga kami semua pergi ke stasiun Lempuyangan jalan kaki. Lumayan jauh jaraknya dari nol kilometer. kami semua berharap tiket kereta ke Jakarta masih ada. Pilihan naik kereta waktu itu emang prioritas karena cuma Rp35 ribu harga tiketnya. Mengingat keuangan kami yang sudah menipis.

Sial untuk gue dan yang lain. Tiket kereta sudah habis terjual. Mau nggak mau kita harus naik bus ke jakarta yang harga tiketnya bisa Rp120 ribu/orang. Duit gue tinggal Rp100 ribu, Rizen tinggal Rp 30 ribu. Sementara si Yusyus udah nggak megang uang sama sekali. Liday, Ayu, Iki, sama Tori juga megang nominal yang nggak jauh dari Rp100 ribuan. Kami mulai memasuki fase bingung pulau naik apa.

Dengan rasa solidaritasnya yang tinggi, Yusyus langsung berwacana untuk jual hape satu-satunya dia supaya kita semua aman bisa pulang ke Jakarta. Enggak ada waktu lama lagi, dia langsung ke konter HP dekat stasiun untuk menjual HP Nokia-nya. Yusyus menawarkan harga Rp700 ribu. Setelah negosiasi lumayan alot, Nokia itu cuma terjual Rp300 ribu. Tapi, waktu itu Yusyus kelihatan nggak peduli. Pikirnya kami semua bisa pulang hari itu juga ke Jakarta. Solidaritas tanpa batas!

Sore harinya kami semua bisa pulang ke Jakarta dengan membawa segudang cerita. Kami naik bus Sinar Jaya dari pasar Gamping, Sleman. Beberapa waktu lamanya setelah perjalanan gila itu kami beberapa kali intens kumpul bareng di Bulungan. Beberapa kali juga kami nonton gigs bareng di Jakarta. Tapi, itu semua nggak lama.

Kami mulai hilang tanpa kabar beberapa tahun lamanya. Kecuali gue dan Rizen yang memang satu kampus. Sampai akhirnya tahun kemarin, kami semua kecuali Yusyus dan Tori dipertemukan lagi di jejaring sosial Path. Cerita sekarang dan masa lalu jelas berbeda. Jelas tiap cerita pasti ada lakonnya dan tiap lakon pasti punya cerita.

Ayu sekarang sudah berkeluarga. Dia menikah dengan pria Amerika yang menetap di sini.

Iki juga sudah bekerja di salah satu perusahaan swasta. Dia juga jadi salah satu pengadopsi kucing liar.

Rizen sudah berkeluarga dan sebentar lagi akan menjadi ayah. Sekarang dia beprofesi jadi wartawan otomotif.

Liday juga sudah bekerja di perusahaan swasta. Mungkin dia sudah dilamar anak pejabat kabupaten Bekasi.

Kabar Tori terakhir kali setahunan lalu dia jadi pengusaha kaos di Cirebon.

Sementara kabar terakhir Yusyus kira-kira 3 tahunan lalu dia bekerja di salah satu percetakan di Jakarta Selatan.

Tuan Kembara

Lebih baik jadi burung kecil yang terbang bebas daripada jadi raja yang tertawan. Tertarik di bidang dokumentasi, musik, historia dan humaniora.

2 komentar: