Pages

Mandi-mandi dan jejak orang Portugis di Kampung Tugu


Mandi-mandi dan jejak orang Portugis di Kampung Tugu



Bukan cerita tentang lelahnya pendakian. Bukan tentang lanskap gunung tinggi yang menjulang. Bukan juga soal desiran ombak ataupun matahari terbenam. Kali ini, gue mau sedikit bercerita tentang satu tempat di utara Jakarta yang bisa dibilang jadi sisi lain Jakarta. Wah njirr kalau udah denger Jakarta Utara kenapa pikiran gue waktu itu langsung terlintas pabrik, pelabuhan, atau truk kontainer hilir mudik, ha..ha..ha

Setelah setengah jam memacu motor dari rumah, sampailah gue di Kampung Tugu. Kampung ini terletak di samping gereja Tugu yang merupakan gereja tertua di Jakarta, atau alamatnya persis di Jalan Raya Tugu, Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara. Kalau kalian baru pertama kali ke sini, pasti bingung karena kawasan di sekelilingnya itu berhimpitan pabrik-pabrik, plus jalan raya yang berseliweran truk kontainer.

Mengunjungi Kampung Tugu emang niatan gue udah lama. Gue udah beberapa kali baca literatur tentang Kampung Tugu baik di buku ataupun internet. Bertahun-tahun cuma jadi wacana, akhirnya deal lah kemarin harus jadi. Entah kenapa, rencana gue berbarengan sama acara tahunan yang rutin digelar di Kampung Tugu, jadi makin semangat gue buat ke sana.

Nama acaranya cukup unik, "Mandi-mandi". Eits, Mandi-mandi di sini bukan mandi bareng pakai air sama sabun kaya di rumah. Jadi, dalam acara Mandi-mandi ini ada sebuah lagu yang wajib dinyanyikan, yang judul aslinya itu “Mande Mande”. Lama kelamaan pelafalan “Mande Mande” berubah menjadi “Mandi-mandi”.

Kira-kira syair lagu tersebut kaya gini:

Mande Mande
Mande, mande, anak ona e mande,
Kalau rasa bagaimana, beta pulang kawin dengan se.
Sareka, reka, gaba-gaba, ampat buah
Kalau nona sayang beta, mari dekat, dekat dekat jua.

Mandi-mandi merupakan acara puncak warga Kampung Tugu dari rangkaian tradisi menyambut Natal dan Tahun Baru atau biasa disebut "Rabo-rabo". Mandi-mandi jauh dari perayaan yang bersifat mistis atau pemujaan-pemujaan. Bisa dikatakan ini merupakan acara pesta budaya masyarakat. Selain itu, acara ini menjadi ajang memperkuat silaturahim dan saling memaafkan atas semua kesalahan yang diperbuat sepanjang tahun yang sudah lewat.

Yang unik dari acara Mandi-mandi ialah para warga saling mengoleskan bedak basah ke bagian wajah. Perang bedak makin menjadi semarak saat alunan keroncong khas Kampung Tugu mulai berdendang. Siapapun, tanpa melihat identitas atau latar belakangnya bisa ikut perang bedak, menari dan bernyanyi bersama. Tapi, karena gue bukan tipe orang yang ekspresif alias datar-datar aja, jadi cuma bisa motret atau senyam-senyumin orang aja di sana, he..he..he.



Acara Mandi-mandi tahun ini menjadi spesial karena mantan presiden Timor Leste, Xanana Gusmao, datang berpartisipasi. "Atas nama rakyat Timor Leste, saya merasa terharu apa yang terjadi pada hari ini. Saya juga ingin tau mandi-mandi itu apa? Karena saya sudah satu minggu tidak mandi," kata Xanana.

Pesta Mandi-mandi kurang lengkap rasanya bila tak disuguhi dengan kuliner khas Kampung Tugu. Gado-gado Siram tugu, dendeng Tugu, dan pindang serani Tugu, kue pisang dicampur dengan udang jadi hidangan khas yang dihidangkan oleh panitia untuk para tamu yang datang. Nikmat!!

Sejarah Kampung Tugu

Oke, kurang lengkap rasanya kalau gue nggak cerita sedikit tentang sejarah Kampung Tugu dan Gereja Tugu. Tugu itu berasal dari bahasa Portugis, Por-Tu-Guese, atau orang Portugis. Ada juga versi lainnya yakni berasal dari prasasti Tugu dari abad ke-5 (masa kerajaan Tarumanegara) yang ditemukan. Kabarnya, sekarang prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional.

Asal-usul orang Tugu adalah orang Portugis dari semenanjung Malaka. Mereka dibawa ke Batavia sebagai tawanan perang setelah pasukan VOC merebut kota pelabuhan di tanah Melayu itu dari tangan Portugis pada 1641.



Tawanan perang yang diangkut ke Batavia dari Malaka ketika itu berjumlah 25 keluarga atau kurang lebih 150 jiwa. Sebagian besar merupakan orang-orang berdarah campuran, hasil perkawinan lelaki Portugis dengan perempuan asal berbagai daerah koloni Portugis di Asia, seperti Malabar, Kalkuta, Surat, Pantai Koromandel, Goa, dan Ceylon (Sri Lanka), serta dari Malaka sendiri.  Jadi mereka sebenarnya adalah blasteran atau campuran, bukan Portugis asli.

Sebagai tawanan perang di Batavia, orang-orang blasteran Portugis ini ditempatkan di sekitar Kampung Bandan, Jakarta Utara. Kemudian mereka dibebaskan sebagai tawanan perang dengan syarat merubah agama mereka dari Katolik ke Protestan. Sejak saat itu orang-orang Tugu diberi julukan oleh Belanda sebagai kaum Mardijkers (kaum merdeka).

Jumlah populasi keluarga tugu yang tercatat dalam organisasi ada sekitar 300 KK yang tersebar di Jabodetabek. Sedangkan yang menetap di kampung Tugu ini ada 150 KK atau sekitar 1.200 orang. Beberapa rumah bergaya Betawi dengan sentuhan Portugis masih berdiri. Termasuk rumah yang pada tahun 1661 digunakan sebagai tempat berkumpul untuk berlatih Keroncong Tugu. 

Orang-orang tugu ini punya marga sendiri. Contohnya yang masih ada seperti Abraham, Cornelis, Browne, Andreas, Michiels dan Quiko. Sekarang, keluarga besar Kampung Tugu keturunan Portugis yang masih hidup merupakan generasi kedelapan. Bahasa yang mereka pakai pun masih ada campuran Portugis, atau biasa disebut Kreol Tugu. Namun, sayangnya sudah sedikit sekali warga yang masih bisa menuturkan bahasa Kreol Tugu tersebut.

Dengan asal-usulnya sebagai kaum yang terpinggirkan di era penjajahan Belanda, orang Tugu hidup dengan ekspresi seni yang tinggi. Produk seninya tak lain dan tak bukan yakni Keroncong Tugu. Keroncong Tugu sudah ada sejak ratusan tahun lalu yang merupakan produk akulturasi budaya Portugis dan Melayu. Alunan keroncong Tugu memang semakin membawa suasana gue lebih mendalami bagaimana kehidupan masyarakat Kampung Tugu.


Menurut sumber yang gue baca di internet, musik keroncong sendiri masuk ke Indonesia sekitar abad ke-16, yaitu pada waktu ekspedisi Portugis pimpinan Alfonso de Albuquerque (cieeee sering masuk pelajaran sejarah SMP itu orang) datang ke Malaka dan kepulauan Maluku. Para pelaut Portugis tersebut membawa lagu jenis Fado, yaitu lagu rakyat Portugis bernada Arab (karena bangsa Arab sendiri pernah berekspansi ke Portugis/Spanyol tahun 711 hingga 1492. 

Musik Keroncong Tugu juga terus berkembang. Dari yang awalnya terdiri dari tiga-empat gitar, kini mereka menambahkan suling, biola, gendang, rebana, dan alat musik lain. Lagu-lagu yang dimainkan juga semakin beragam. Tak hanya lagu berbahasa Portugis saja, namun bahasa-bahasa daerah lain.

Gereja Tugu

Kampung Tugu dan Gereja Tugu memang tak dapat dipisahkan. Sejarahnya, Gereja Tugu merupakan salah satu yang yang tertua sekaligus peninggalan Portugis yang masih ada. Gereja Tugu saat ini masih kokoh berdiri dan digunakan untuk beribadah. 




Gereja Tugu luasnya mencapai 1,5 hektar dan memiliki sejarah yang panjang. Beberapa kali mengalami renovasi karena kerusakan dan juga hancur. Gereja yang memiliki makam Portugis pada halaman depan ini diresmikan 1748 oleh seorang pendeta, JM Mohr. 

Gereja Tugu, yang dibangun pada 1676-1678, merupakan peninggalan Portugis. Yang membangun pun adalah orang Portugis. Ketika gue mulai menapakkan kaki di depan pintu gerbang, nuansa Eropa dengan pintu bangunan dan jendela yang khas langsung terasa. Sayangnya, gue nggak berkesempatan masuk ke dalam gereja karena pintu sudah terkunci. Atap Gereja Tugu dibuat meruncing ke atas sebagai simbol surga di atas langit. Gereja Tugu dibuat menghadap Sungai Cakung yang dulu jadi jalur transportasi utama warga lokal.

Begitulah sedikit cerita gue tentang Kampung Tugu. Jalan-jalan sambil menelisik sejarah kota kelahiran emang menarik buat gue. Apalagi gue punya harapan bagaimana Jakarta nggak cuma membangun beton, asap, ataupun aspal saja. Namun, Jakarta juga harus bisa membangun kota yang berbudaya dan juga bercerita.

Baca juga dong:

Seni adrenalin itu bernama Lais

Awas! Lupa diri di Pantai Tangsi

Lihat foto-foto perjalanan gue lainnya di sini

Tuan Kembara

Lebih baik jadi burung kecil yang terbang bebas daripada jadi raja yang tertawan. Tertarik di bidang dokumentasi, musik, historia dan humaniora.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar